Perjalanan dengan motor selama hampir tiga jam bukan perkara
ringan. Menempuh jarak sekitar 70 kilometer dari Lamongan ke Jombang jelas
menuntut stamina dan ketahanan. Namun, rasa lelah itu sedikit terobati ketika
angin sepoi dari hutan jati di kawasan Kemlagi menerpa wajah. Belum lagi pohon
kayu putih yang berjajar rapi, hamparan tebu hijau yang bergoyang ditiup angin,
serta pepohonan sukun yang menjulang di sepanjang Kali Brantas—semuanya berpadu
menghadirkan kesejukan tersendiri, seolah ikut merayakan perjalanan panjang kami
dengan penuh ketenangan.
Namun suasana nyaman itu segera
koyak begitu kami tiba pondok pesantren tempat si bungsu kini belajar. “Aku
juga heran kok bisa kumat lagi. Perasaan tempo hari di kaki sebelah sini udah
kering, eh tahu-tahunya sekarang muncul lagi! Mana agatal pula….” sergahnya setengah
sebal begitu kami bertatap muka di gazebo seperti biasa.
Kami menanggapinya dengan wajah datar.
Bukan sebab tak perhatian, tetapi hendak berkirim sinyal agar ia tak terlalu
gusar. Gudik alias kulit gatal memang jadi momok bagi para santri yang awal
mondok. Bahkan di pesantren lain tempat kakaknya belajar pun kejadian serupa
tak bisa dihindari. Hanya saja, kasus berulang memang terbilang jarang. Kalau sudah
pernah kena, biasanya tak bakal tertular lagi sampai akhir masa mondok.
Kesalahan yang dimaklumkan
Walau sudah jadi problem lumrah,
nyatanya gudik belum ditanggapi secara serius di banyak pesantren, terutama
yang dikelola secara tradisional. Bahkan ada ungkapan yang kerap terlontar dan
seolah diaminkan oleh publik, terutama di desa-desa:
“
Durung sah dadi santri nek durung keno gudiken.”
Intinya, seorang pelajar belum sah disebut santri jika belum terkena gudik. Bukankah ini bentuk salah kaprah
yang sangat merugikan?
![]() |
| Afif menggagas Gerakan Pesantren Sehat demi Indonesia kuat (dok. kompas.id) |
Bagi sebagian besar orang, kalimat
itu boleh jadi terdengar biasa dan bahkan dianggap wajar. Namun tidak bagi Mohammad Afifi Romadhoni. Kalimat itu menyimpan
kenyataan pahit yang sudah mengakar di banyak pesantren sebagaimana yang ia saksikan sendiri selama ikut mondok.
Adalah kesalahan jika kita
menganggap penyakit kulit seperti
kudis, kurap, atau panu sebagai “ritual wajib” bagi kaum santri. Tak sedikit orang tua memakluminya sebagai bagian dari proses menempa diri di pesantren. Padahal, di
balik itu, ada masalah besar yang selama ini luput dari perhatian, yaitu rendahnya
kesadaran hidup bersih dan akses kesehatan di lingkungan pesantren.
Dan dari sinilah kisah Afif bermula — kisah
seorang dokter muda yang berani menantang tradisi, menanam benih perubahan, dan
memijarkan suluh melalui gerakan kecil bernama Gerakan Pesantren
Sehat (GPS).
Kenangan pahit masa lalu
Afif bukan orang luar yang datang sok tahu. Ia pernah
merasakan kehidupan pesantren itu secara langsung. Delapan tahun hidupnya dihabiskan di
berbagai pondok — dari Madrasah Ibtidaiyah hingga Tsanawiyah. Enam tahun ia ulang-alik dari
pondok yang dekat dengan rumah neneknya. Sementara dua tahun berikutnya ia
habiskan di sebuah pesantren di Jawa Timur.
Masih jelas tergambar
dalam ingatannya: tidur
berdesakan di lantai tanpa alas, handuk lembap bergantungan di kamar, jemuran
yang menumpuk, hingga sendok dan sikat gigi yang dipakai bersama. Makan pun
satu nampan besar untuk belasan orang. Sungguh kebiasaan yang tak ideal untuk selaras dengan gaya
hidup sehat.
Bagi banyak santri, itu memang hal biasa. Namun bagi Afif remaja, kondisi itu
lama-lama terasa berat. Dua tahun ia bertahan sebelum akhirnya memutuskan
keluar. Ia merasa bukan karena tidak kuat, tapi karena ingin hidup sehat dan
belajar dengan nyaman.
Nah, pengalaman pahit pada masa lalu itulah yang kelak menjadi bahan bakar semangatnya untuk menggagas program positif saat tumbuh dewasa.
Dari santri jadi dokter
Lahir di Muara Enim, Sumatra Selatan, pada 13 Maret 1992,
Afif tumbuh sebagai anak yang haus ilmu. Setelah menamatkan sekolah dari madrasah
negeri di kotanya, ia melanjutkan kuliah kedokteran di Universitas Jambi.
Sejak awal, ia tak pernah bermimpi menjadi dokter
kaya. Cita-citanya sederhana: mengabdi melalui kesehatan. Salah satu pemantiknya tentu
fragmen masa kanak dan remaja yang kurang mengenakkan.
![]() |
| Kunjungan Afif ke pesantren, edukasi kesehatan bagi generasi masa depan (dok. rm.id) |
Tahun 2010, ketika menjalani masa koas di Muaro, Jambi, Afif bertemu dengan sepuluh
santri yang terkena cacar air. Melihat kondisi pondok mereka yang pengap dan tak layak, Afif
seperti terlempar kembali ke
masa lalu. Ia melihat dirinya sendiri di antara para santri itu.
Saat itulah kesadaran itu muncul: tugasnya bukan hanya mengobati penyakit,
tapi juga mengobati pola pikir yang kurang tepat. Ia ingin santri sadar bahwa menjaga
kebersihan adalah bagian dari ibadah.
Menabur benih Gerakan Pesantren Sehat
Afif memulai langkah kecil dengan cara sederhana. Ia duduk
santai bersama para santri dan ustaz sambil menyeruput
kopi. Dari situ
lahir kegiatan bertajuk “Duduk (Ngopi) Bareng”, tempat mereka mengobrol soal
hal-hal kecil tapi penting, termasuk mencuci tangan, menjaga kebersihan
kamar, dan mengelola sampah.
Siapa sangka, obrolan santai itu justru menumbuhkan ide
besar. Pada Mei 2017, Afif bersama teman-temannya resmi membentuk Gerakan
Pesantren Sehat (GPS), yakni gerakan akar rumput untuk membangun
kesadaran hidup bersih di lingkungan pesantren.
Mereka tidak datang mengemas pesan dalam seminar kaku atau brosur formal. Mereka
datang membawa semangat gotong royong dan ketulusan. Dengan perasaan cinta berbasis
empati.
![]() |
| Santri belajar hidup bersih dan sehat. (dok. liputan6.com) |
Sebenarnya saat itu pemerintah telah memiliki program Pusat Kesehatan Pondok Pesantren (Puskestren) yang sejalan dengan spirit GPS. Sayangnya, penerapan di lapangan masih sekadar formalitas. Belum ada pengurus yang bertanggung jawab mengenai hal tersebut di pesantren secara jelas.
Belajar sehat dengan cara menyenangkan
Lewat GPS, Afif dan para relawan menciptakan
pendekatan yang kreatif dan ramah santri. Mereka membuat kelas interaktif bernama PHBS
(Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dengan metode permainan, diskusi, dan praktik
langsung.
![]() |
| Praktik baik secara langsung membangun sense of healthy life (dok. xibianglala) |
Selain itu, ada berbagai program unik seperti Cerita Santri
(CS), yakni sesi berbagi
kisah dan refleksi tentang hidup bersih. Ada juga Pesantren Tanpa Rokok (Patok) sebagai kampanye agar pesantren bebas asap
rokok.
Adapun Book4Santri merupakan gerakan donasi
buku agar wawasan santri semakin kaya dan
luas, tidak
melulu pelajaran agama. Lalu ada Setara (Santri Sehat Ramadan Berkah), yaitu kegiatan amal
Ramadan untuk mendukung kesehatan pesantren melalui
penggalangan donasi.
Kegiatan semakin semarak dengan program
tambahan bagi para santri, seperti pelatihan menjadi pembawa acara, belajar
mendengarkan dan membimbing teman sesama santri, hingga berlatih public speaking secara umum.
Satu lagi yang paling menarik: program Dokter Pesantren
(Doktren). Di sini para santri dilatih menjadi “duta
kesehatan” bagi teman-temannya. Mereka belajar mencontohkan perilaku sehat dan
menjadi agen perubahan dari dalam.
Kolaborasi dan dampak nyata
Afif sadar bahwa perubahan tak bisa datang dari santri
saja. Ia lantas mendekati
para ustaz dan pemimpin pesantren. Alih-alih memerintah, ia mengajak
dengan penuh hormat: tentang anjuran mencuci tangan sebelum makan, menjaga
ventilasi kamar, membersihkan tempat wudu, dan memberi teladan langsung bagi para santri.
Perlahan-lahan, perubahan pun terjadi.
Kamar jadi lebih bersih, penyakit menular berkurang, dan santri mulai terbiasa
menjaga kebersihan diri.
![]() |
| Afif muda bersinergi dengan pengelola pesantren (dok. viva.co.id) |
“Kesehatan adalah bagian dari
iman,” kata Afif. “Kebersihan bukan cuma tampilan luar, tapi juga bentuk
ibadah.”
Sejak didirikan, GPS telah memiliki 73 relawan aktif.
Jumlahnya memang tak besar, tapi komitmen mereka luar biasa. Berbeda
dengan program yang datang lalu pergi, GPS membangun hubungan jangka panjang
dengan pesantren. Para relawan datang secara rutin, memantau, dan merayakan setiap
kemajuan kecil.
Enam pesantren di Jambi berhasil dirangkul sebagai mitra utama GPS, yaitu Ponpes Ainul Yaqien, Ponpes Al-Jauharen, Ponpes Serambi
Makkah, Ponpes As’ad, Ponpes Daarul Huffazh, dan Ponpes Kumpeh Daaru Attauhid. Setidaknya
sebanyak 1.500 santri pada level pendidikan MI dan MTs telah mereka edukasi.
Dari hasil evaluasi, rata-rata pemahaman santri tentang PHBS
meningkat pesat setelah mengikuti kegiatan. Ini terlihat dari hasil penilaian pre-test dan post-test. Saat kali pertama masuk pesantren, rata-rata skor mereka hanya
sekitar 3. Namun setelah mengikuti serangkaian kegiatan, nilainya melonjak
hingga mencapai 8 bahkan 9.
Namun yang paling membahagiakan bagi Afif
bukanlah besarnya angka, melainkan
pemandangan sederhana. Misalnya, santri mencuci tangan dengan benar; atau kamar-kamar
tampak lebih rapi; dan mereka menularkan
kebiasaan baik tersebut kepada para adik kelas.
Menembus tantangan, menjaga keikhlasan
Tentu saja perjalanan GPS tak selalu mudah. Banyak relawan yang
masih mahasiswa dengan keterbatasan dana. Mereka mesti menempuh perjalanan jauh ke pelosok
dengan motor atau bahkan perahu kecil demi mencapai pesantren yang
dituju. Tak heran jika jumlah relawan mendadak
berkurang saat pada saat kunjungan padahal awalnya banyak yang mendaftar.
“Ada pesantren yang kita harus ke sana naik perahu kecil, ada biayanya, dan itu jadi hambatan sebagian orang untuk hadir karena ongkos jalannya lumayan,” tutur Afif sebagaimana dikutip dari antaranews.
![]() |
| Tetap semangat jangkau wilayah jauh demi edukasi kesehatan (dok. kompas.id) |
Dana operasional sering kali mengandalkan
kantong sendiri. Donasi masyarakat juga turut menjadi penopang kegiatan. Meski sempat ragu karena GPS belum
berbadan hukum, Afif mencoba menjaga transparansi penuh dengan membagikan
laporan dan ucapan terima kasih lewat media sosial.
Ia percaya, keikhlasan akan menarik orang-orang baik. Dan
benar saja, perlahan dukungan mulai berdatangan,
terutama para dokter muda yang akan melanjutkan program positif tersebut dalam
semangat regenerasi.
"Dengan bangga saya katakan bahwa kas dari GPS itu 0 rupiah. Jadi kita baru mencari bantuan ketika ada kegiatan," ujar Mutia, sapaan akrab Ns. Mutiana Effendi S.Kep yang didapuk sebagai ketua Gerakan Pesantren Sehat saat berbincang dengan RRI Senin (01/04/2024).
Mutia mengakui bahwa mencari donatur bukanlah hal mudah. Namun, hal itu tak sedikit pun menyurutkan semangatnya. Salah satu langkah kreatif yang ia lakukan adalah menjual kembali pakaian hasil donasi setelah melalui proses penyortiran. Dari penjualan pakaian bekas itulah, Yayasan Gerakan Pesantren Sehat mendapatkan sebagian sumber pendanaan untuk terus menjalankan kegiatannya.
![]() |
| Mutia, penerus estafet Afif--senantiasa semringah walau tak mudah (dok. rri.co.id) |
"Terkadang ingin nyerah, karena kadang lelah, sulit mencari donatur. Tetapi saat melihat senyum bahagia para santri yang kami bimbing itu menjadi booster untuk kembali semangat," pungkas perempuan yang berdinas di RSUD Raden Mattaher Jambi ini.
Mengabdi sepenuh hati
Kini Afif bekerja sebagai dokter di bawah program Nusantara
Sehat Individu, yaitu program penugasan khusus dari Kementerian Kesehatan RI. Namun di tengah
kesibukannya, ia tetap setia memantau dan menggerakkan GPS.
Afif yakin, “Pesantren yang sehat hari ini akan
melahirkan Indonesia yang tangguh di masa depan.”
Ia bermimpi suatu hari nanti ada jaringan
pemimpin kesehatan muda di pesantren seluruh Indonesia, yakni para santri yang
menjadikan kebersihan dan kesehatan sebagai bagian dari iman. Sehat badan akan menjadi modal mengakses
ilmu pengetahuan dan penggerak pembangunan.
Apresiasi pendobrak inspirasi
Hasil memang tak pernah mengkhianati kerja keras.
Pada tahun 2019, Afif diganjar penghargaan SATU Indonesia Awards dari PT Astra
International, Tbk atas dedikasinya di bidang kesehatan
masyarakat.
![]() |
| Apresiasi SIA kian membuncahkan asa. |
Lucunya, Afif ternyata tak pernah mendaftarkan dirinya dalam ajang bergengsi tersebut. Dua rekannya diam-diam mengajukan
namanya. Wajar jika
ia mengaku kaget saat tahu namanya berada di deretan 15 besar dan diundang untuk
mempresentasikan GPS di depan para juri di Jakarta.
Namun ia bersyukur sebab sejak menerima
apresiasi dari Astra, GPS semakin
dikenal luas. Banyak relawan baru di Jambi yang tergerak bergabung, banyak pesantren baru merasa terinspirasi.
Namun Afif tetap
rendah hati.
“
Perbaiki niat, pengalamanku sendiri pas ikut SATU Indonesia Awards, (penghargaan) bukan jadi tujuan. Jika sudah melakukan sesuatu dan ada dampaknya untuk masyarakat, kalau diapresiasi itu adalah rencana Tuhan.”
Bagi Afif penghargaan tak lain adalah bonus sebab ukuran sukses sesungguhnya adalah nilai kebermanfaatan bagi orang lain. Selama
kebaikan bergulir, ada arus keberkahan yang tak berhenti mengalir.
Satukan gerak, teruskan dampak
Kini, impian Afif adalah memperluas GPS hingga ke seluruh
Nusantara — dari Sumatra hingga Papua. Ia ingin setiap pesantren
menjadi contoh lingkungan bersih dan sehat, tempat santri tumbuh dengan fisik
kuat dan jiwa yang disiplin. Bukan cuma
digembleng dengan pendidikan agama, tetapi juga kekuatan fisik yang prima.
Afif menambahkan bahwa santri sejati bukanlah mereka yang tahan
sakit, melainkan yang kuat baik secara spiritual maupun fisik. Dan itu bisa dimulai dari praktik
baik sejak berada di pesantren. Ia percaya,
langkah kecil yang konsisten akan menumbuhkan perubahan besar.
Langkah kecil itu terbukti membesar sebab GPS yang semula berfokus pada lingkungan pesantren akhirnya merambah ke ranah kesehatan masyarakat yang lebih luas. Sebut saja GHOSTING (Gerakan Sehat Zero Stunting) yang pernah digelar pada 11 September 2024 di kawasan Lebak Bandung, Jelutung, Kota Jambi atas kerja sama dengan PLN S2JB (Jambi, Palembang, Bengkulu) dan BKKBN Prov. Jambi.)
![]() |
| Pesantren dan stunting sama-sama penting. (dok. GPS Foundation) |
Stunting mesti dicegah sebab dampaknya serius bagi anak, bukan hanya terlihat pada fisik, tetapi juga memengaruhi perkembangan otak, kesehatan jangka panjang, dan masa depan mereka.
Jadi, gerakan Afif bukan sekadar tentang sabun dan kebersihan. Atau sebatas mencuci dan bersih-bersih. Lebih dari itu, GPS
adalah cara baru
melihat kesehatan — sebagai bagian dari keimanan, yang menjadi fondasi masa
depan Indonesia yang lebih cerah.
Sebuah gerakan kecil yang dimulai dari seorang santri kini menular menjadi semangat bersama, menciptakan dampak yang terus berdetak. Dari pesantren untuk Indonesia yang lebih sehat. GPS jelas menggambarkan perjalanan dan keberanian Afif dalam mengubah tradisi (misalnya memaklumi kekumuhan) menjadi inspirasi yang memicu santri agar tumbuh sehat sebagai bekal Indonesia kuat.
#APA2025-PLM
:quality(80)/https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/08/IMG_3760_1596429420.jpg)








