Apa yang terbayang di benak ketika melihat deretan pohon kelapa yang berlimpah? Mungkin ada yang seketika teringat pada lagu kondang karangan Ismail Marzuki berjudul Rayuan Pulau Kelapa. Atau bisa pula terbayang kesegaran meneguk air kelapa muda langsung di tepi pantai. Sejuk air alami membasahi tenggorokan, sambil melepas pandangan ke laut Nusantara yang memesona.
Apa pun imajinasi yang terbetik, kita tak bisa menampik bahwa
Indonesia memang kaya dengan potensi alam dan budaya. Dua potensi ini bisa
dikelola dengan bijak dan kreatif sebagai pendulang rupiah baik dalam bentuk
komoditas maupun eduwisata. Ini pula yang terjadi di Desa Kemawi, Kecamatan Somagede,
Jawa Tengah. Desa yang
jaraknya sekitar 26 km dari Purwokerto ini berada di punggung bukit dengan hasil bumi yang beragam, misalnya cengkih,
kopi, dan gula merah.
![]()
Rizki Dwi Rahmawan, dampingi penderes meningkatkan pendapatan | Dok. Astra
Komoditas terakhir ini lahir berkat ribuan pohon kelapa yang
menghiasi Kemawi. Pekarangan dan kebun warga banyak ditumbuhi pohon berjuta
manfaat ini. Tak heran jika warga setempat memiliki kegiatan utama sebagai penyadap nira atau dalam bahasa lokal dikenal dengan sebutan
penderes.
Untuk mendapatkan rezeki, setiap hari para penderes itu mesti memanjat pohon kelapa, lalu menuai nira yang bisa ditampung,
mengganti wadah penampungnya dan mengolahnya menjadi gula untuk dijual sebagai penopang kebutuhan
keluarga.
Rizki Dwi Rahmawan, Pembawa Suluh Harapan
Namun, berlimpahnya
produksi gula merah yang dihasilkan oleh para penderes hanya berupa gula kelapa biasa. Biasanya dipadatkan dalam batok
atau dicetak dengan ukuran tertentu.
Dampak buruknya, gula kelapa dalam bentuk semacam ini rentan dimainkan
oleh para spekulan. Harga tunduk pada pengepul, asal terjual mengingat gula padat ini tidak tahan
lama.
Adalah Rizki Dwi Rahmawan yang dirundung kegalauan. Pemuda asli
Gemawi ini akhirnya melihat peluang lain untuk memajukan usaha gula kelapa para
penyadap nira di desanya. Yaitu dengan mengubahnya ke dalam bentuk lain yang lebih
leluasa.
Kendala utama gula batok adalah umurnya yang cenderung pendek, yakni berkisar dua sampai tiga minggu. Kondisinya sudah lembab sehingga sulit dimanfaatkan secara optimal. Bahkan akan berjamur saat disimpan selama dua bulan.
“Kalau kristal ini karena serbuk seperti gula pasir bisa sampai 1,5 tahun. Ini karena kadar air yang ada dalam gula kristal rendah di bawah tiga persen. Ini tanpa bahan pengawet.” Rizki menuturkan dengan mantap seputar alasan mengubah gula batok menjadi gula kristal.
Ide mengubah menjadi
gula kristal itu ia peroleh saat
dirinya belajar di
Surabaya. Dia kerap melihat
di hotel-hotel terdapat gula pasir cokelat. Hanya saja itu sebenarnya gula pasir biasa yang diberi pewarna cokelat.
Bersama teman-temannya, Rizki lantas merintis usaha sejak mereka masih berstatus
mahasiswa. Bisnis dengan bendera CV
Mekanira Nusantara ini khusus memproduksi gula kelapa kristal dengan merek SweetJava. Peluang yang ditangkap Rizki rupanya membuka pintu bisnis yang menjanjikan.
Berdasarkan temuan mahasiswa Akademi
Telkom Purwokerto ini, para penderes di Somagede bisa meraup hasil lebih besar seandainya gula merah setempat diubah menjadi bubuk
atau kristal. Tidak main-main,
bukan cuma pasar domestik yang dijelajahi, tapi hingga pasar global seperti Kanada dan Selandia Baru.
“Dalam enam bulan pertama pada 2011, produksi hanya sekitar satu ton gula kristal nonkemasan. Sebagian besar dikirim ke Yogyakarta. Ada juga eksportir dari luar negeri, yaitu Kanada dan Selandia Baru yang tertarik dengan gula kristal tanpa kemasan,” kata Rizki.
Untuk
memulai bisnis ini, Rizki harus merogoh tabungannya sendiri, juga dibantu
teman-teman seperjuangan. Langkah awal pun tak mudah, terutama saat meyakinkan
para penderes agar mau didampingi dan menjual gula kristal mereka ke CV Mekanira Nusantara.
Semula para
penyadap nira meragukan ide
Rizki. “Buat apa sih susah-susah, kalau
enggak jadi bisa rugi,” ujar Rizki menirukan komentar petani setempat di awal merintis usaha.
Butuh waktu satu tahun baginya untuk meyakinkan para
penderes. Tekad dan perjuangannya membuahkan hasil ketika akhirnya sebanyak 250 orang petani mau bergabung dengan tiga
orang di bagian manajemen dan empat orang mengurus operasional.
Ekspor 2 ton dan omzet ratusan juta
Dengan kendali mutu dan pendampingan ketat, gula
kristal SweetJava pun semakin dikenal. Rizki memastikan para penderes menjaga kebersihan selama produksi. Jika tidak bersih, maka kualitas nira akan terpengaruh yang
berdampak pada terganggunya proses
kristalisasi gula.
Menurut pemantauannya, selama ini pasar gula kristal nonkemasan
masih lebih banyak mendominasi kebutuhan ekspor. Angkanya mencapai 2 ton setiap bulan. Adapun pasar dalam negeri
masih fluktuatif. Omzet perusahaannya pun bergerak positif, hingga mencapai Rp50-100 juta
per bulan.
Yang masih jadi ganjalan adalah mesin pengemas skala pabrik
yang belum dimiliki. Butuh dana cukup besar untuk mengadakannya agar gula kristal bisa diproduksi lebih banyak dan bisa dijual dengan kemasan lebih menarik dan praktis.
Gula Jawa Naik Kelas
Rizki yakin industri
gula yang ia kelola punya masa depan yang cerah. Alasan pertama, produk andalannya bisa bersaing di pasaran lantaran SweetJava tidak
menggunakan bahan pengawet.
“Jadi bisa disimpan selama dua tahun dan cocok dikonsumsi untuk penderita diabetes karena kadar index glycemic yang rendah,” ujar Rizki optimistis.
Alasan kedua, ia punya gagasan untuk menjadikan usaha tersebut sebagai
objek wisata tematis. Pembeli bisa berkunjung ke desanya untuk langsung
mencicipi produk gula tradisional. Selain itu, pengunjung juga dapat belajar tentang
proses produksi gula dan mekanisasi yang diterapkan. Rizki berharap gula jawa akan
“naik kelas” dan kesejahteraan para penderes semakin meningkat.
Yang tak kalah penting, Rizki bercita-cita bahwa industri
gula kristal yang ia kelola akan dikerjakan dari hulu ke hilir di wilayahnya sendiri. Artinya, setiap tahap dalam rangkaian proses produksi akan memanfaatkan sumber
daya lokal. Dengan begitu, tenaga kerja lokal akan terserap yang berdampak
positif pada kondisi ekonomi dan sosial warga setempat.
Naiknya pamor gula kelapa dalam bentuk kristal telah mengubah
lanskap ekonomi warga tempat Rizki tinggal. Inisiatif Rizki dalam mengembangkan
potensi nira jelas telah menciptakan akselerasi ekonomi yang positif. Lebih dari
itu, ikhtiarnya telah mampu membangun kepercayaan diri para petani atau
penderes nira lokal bahwa mereka bisa berdaya dari potensi desa tanpa harus
merantau ke kota.
Apresiasi dari Astra

Rizki saat menerima penghargaan SATU Indonesia Awards | Foto: Dok. BeritaSatu
Kerja keras dan upaya Rizki menggambarkan semangat kolaborasi
yang terjalin antara para petani dan pemuda melalui ekonomi kreatif yang
bermuara pada terciptanya kebersamaan dan saling mendukung di dalam komunitas. Inilah
potret warga masyarakat yang bahu-membahu untuk menopang satu sama lain dengan
spirit berkelanjutan.
“Saya ingin SweetJava bisa masuk ke supermarket besar. Saat ini belum bisa karena perlu modal besar untuk bisa memasukkan produk ke supermarket besar. Karena itu, saya berharap PT Astra bersedia membantu agar SweetJava bisa masuk ke supermaket besar,” harap Rizki.
Atas andil positifnya dalam memberdayakan penderes nira di Somagede, Rizki Dwi Rahmawan pun dianugerahi SATU Indonesia Awards tahun 2013 untuk kategori wirausaha. Optimisme dan kreativitasnya dalam mengolah gula batok menjadi gula kristal berlabel SweetJava terbukti telah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat desanya sendiri dengan semangat kemandirian. Rizki adalah inspirasi untuk diteladani pemuda lain di seluruh Nusantara dalam pemanfaatan potensi lokal guna menggerakkan ekonomi setempat hingga sanggup menembus pasar dunia.

:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/2011017/original/088480700_1521459068-Andi_Arif.jpg)












.jpg)





